Senin, 24 November 2014

Aku dan Kamu.

Aku diibaratkan sebagai manusia dan kamu diibaratkan sebagai burung. Mengapa aku mengibaratkanmu pada sebuah burung? Karena kamu menyukai hal itu.

Jadi ceritanya gini,...
Pada suatu hari, ada seorang cewek kecil sedang duduk di bangku taman. Ia merasa kesepian. Karena hari-harinya hanya dipenuhi oleh kisah hampa yang tidak ada artinya. Ketika dia sedang termenung, ada seekor burung yang jatuh di pangkuannya. Padahal waktu di atas awan, ia melihat burung tersebut sedang terbang beriringan dengan seekor burung yang lain. Tetapi kenapa burung yang jatuh hanya satu? Pikir cewek itu. Ternyata, burung tersebut terluka. Lalu cewek tersebut mengambil burung tersebut dan merawatnya. Ia menutup luka yang ada di tubuh burung itu dengan perban. Ia melakukannya dengan sayang. Selama beberapa hari, cewek tersebut bersenang-senang dengan seekor burung itu. Bahkan sampai berminggu-minggu cewek tersebut bercerita tentang berbagai pengalamannya. Cewek tersebut juga diajak bermimpi untuk terbang. Dan cewek itu merasa sering terbang karena burung itu. Setelah 2 bulan berlalu, burung pamit untuk pergi. Burung itu berkata, “Terimakasih atas semua hal yang kau berikan untukku. Maafkan aku tak bisa bersamamu selamanya.” Cewek itu kaget. Dia tidak menyangka akan ditinggal hewan kesayangannya secepat itu. Dan cewek itu menangis. Sampai satu bulan setelah kejadian tersebut, si cewek masih belum bisa melupakan hal yang membuatnya sakit hati itu. Dan dia hanya bisa menangis.

Nyatanya, pelangi nggak akan permanen. Pelangi hanya datang setelah hujan berlalu tapi sesaat kemudian pelangi akan pergi. Tidak akan menetap di tempat itu. Dia memang bisa membuat orang-orang yang melihatnya menjadi tertarik dengannya, tapi dia tidak akan lama. Dia pasti akan pergi. Entah sekarang atau nanti.

Minggu, 22 Juni 2014

Graduation and Farewell Party 2014

Assalamu’alaikum..
Pagi, Siang, Sore, Malam. Entah pada waktu apa kalian baca postingan ini. Kangen kan ya sama aku? Jujur aja deh. Aku seperti bicara sendiri ya. Tapi tak apalah, kita akan pecahkan misteri ini. *ala upin-ipin*

Hae gaessss! Aku mau berbagi cerita sama kalian tentang pelepasanku pada tanggal 15 Juni 2014 lalu. Saat ini, aku resmi lulus dari Sekolah Menengah Pertama dan kemudian lanjut ke Sekolah Menengah Atas a.k.a SMA. Sorenya sebelum wisuda, kita para murid –mantan- kelas 9, gladhi bersih dan pada saat itu aku bener-bener dag dig dug nggak karuan. Padahal yaaah.. cuma gladhi bersih. Belum bener-bener wisuda. Tapi entah deh, aku kan aneh.


Graduation and Farewell Party 2014.

Aku baca kalimat itu di atas panggung. Aku lihat sekelilingnya. Amazing... keren banget! Di sisi kiri panggung, ada gamelan tradisional yang dipergunakan untuk mengiringi setiap jalan murid-murid yang akan diwisuda. Di depan gamelan itu, terdapat tulisan-tulisan dari sponsor yang berjejer-jejer dengan rapi. Tak beda dengan bagian kanan panggung, ada poster bertuliskan “Graduation and Farewell Party 2014” yang berukuran besar sekali.
Kami, para kelas 9, duduk di kursi utama di tengah gedung tersebut. Orangtua/wali kita duduk di sekeliling murid kelas 9. Di bagian kanan dan kiri kami. Lihat di kanan atas! Ada murid-murid kelas 7 yang menyaksikan pelepasan resmi kami. Dan ya, di kiri atas terdapat murid-murid kelas 8. Tapi jika dilihat-lihat, mereka tak lengkap. Mungkin ada urusan yang lebih penting daripada menyaksikan kecantikan dan kegantengan kakak kelas mereka. Hihihi.


Tatapanku terhenti pada tempat duduk yang ada di kiri atas itu. Di deretan para cowok. Ada doi, Guys! Mantan doi lebih tepatnya. Eh, dia tambah ganteng aja sih. Ya ampun makin susah move on deh. Enggg...


Selama 3tahun bersekolah di SMP N 1 Wonosari, kami dipimpin oleh seseorang yang tegas dan disiplin. Pak Bambang Pracaya. Beliau selalu membimbing kami dengan sabar dan menjadikan kami murid yang berguna. Yang di atas ini, fotoku bersama beliau.


Aku juga mempunyai ibu yang luar biasa. Yang menuntunku ke jalan yang lebih baik, yang dengan sabar dan telaten mengajariku, yang juga telah mengajariku arti pentingnya kesederhanaan. I love you, Mom!


Satu lagi nih. Sahabat-sahabat semati segilakuuuuu!! Kita udah bersama-sama selama 3 tahun brooooo. Bakalan susah banget melupakan kalian. Kalian yang hebat, kalian yang jail, kalian yang gila, kalian yang rame, kalian yang kocak, kalian yang pintar, kalian yang cantik, kalian yang cakep, kalian yang bersahabat, kalian yang segalanyaaaaaaa. Girls, boys, sepahit apapun kenangan kita, sejelek apapun perbuatan kita di masa lalu, kita tetap sahabat. Kita tetap pernah dekat. Kita tetap saudara. Walaupun besok bakalan ada jarak yang memisahkan kita, kita tetap harus saling kontak, saling ketemu, saling ngobrol, dan pastinya harus tetap main bareng. Maaf untuk segala kesalahanku. Terimakasih untuk 3 tahun ini, jangan pernah lupakan aku yang muka gelap ini<3 o:p="">


Untuk band kelas kita; SkyEye, yang mempunyai vokalis Adit, gitaris Hubert dan Bintang, bassist Dhatu, dan drummer Dewa, lanjutkan karier kalian. Jangan pernah menyerah sebelum mencoba. Kita akan selalu mendukung kalian!

Intinya, aku dapat pelajaran dari kalian semua yang 3 tahun ini mengisi hari-hariku. I’m sorry and thank you.

Wassalamu’alaikum.

Jumat, 13 Juni 2014

Memecomik sedang marak..

HELLO EVERYBODY!
Kalian apa kabar? Semoga baik.
Taukah kalian bagaimana caraku mengisi hari liburku? Hayo tebak. Mungkin kalian tau aku itu suka banget narsis, yang nggak tau get out aja deeeeh. Tapi masak iya setiap detik, setiap menit, setiap waktu aku habiskan untuk narsis? Enggak dong ya. Aku juga masih manusiawi. Membantu semua pekerjaan rumah tangga. Namanya juga calon ibu hehehe..
Kalian tau kan sekarang yang marak itu foto apa? Bagi penggila socmed terutama twitter pasti tau. Itu lhooo, ikut-ikutan memecomik. Kalo dulu kan memecomiknya cartoon tuh, sekarang ada orang aslinya loooh.
Dan gilanya, aku juga buat itu.
Mau liat? Penasaran nggak?
Itu memecomikku yang pertama. Sebenarnya, aku nggak cuma buat satu sih. Tapi aib aja mau disebarin. Eh, lagipula pasti nggak ada yang liat kan. Pasti ini aku bicara sendiri. Ya khaaaanz?
Nah ini nih aku coba anti mainstream! Biasanya kan kalau buat memecomik yang genrenya ini. Percakapannya gini...
"Jadi gini..."
"Kamu putusin aku"
"Karena.."
"Ada yang lebih cantik dari aku?"
"Kamu yakin?"
Biasanya, awalnya mereka masang muka culun dengan pakai kacamata dan rambut yang nggak tergerai. Lalu di tengah-tengah, mereka melepas kacamatanya dan mengubah dandanannya. Akhirnya, mereka memang bener-bener jadi cantik. Ada lagi nih...
Yang ngenes sih ini ya. Awalnya sih dikira emang bener-bener jalan sama doi 'pacarnya'. Tapi ternyata, dia hanya sekedar temen jalan. Duh nasib jomblo sih ya...
Kok kayaknya nggak mutu ya? Emang hehe. Habisnya aku bener-bener nggak ada kerjaan sih. Jadi gini nih.
Ada satu lagi nih, yang sering terjadi bagi para kakak yang mempunyai adik yang nakalnya melampaui batas._.

Anyway, besok aku pengumuman nih. Aku punya target yang bisa dibilang tinggi, semoga bisa tercapai. Aamiin. Do'anya dari kalian semua yang baca yaaa..
Sudah dulu ya. Kapan-kapan kalau ada waktu, aku datang lagi dan tak memberi harapan palsu. Hihihi.
GOODBYE.

Kamis, 12 Juni 2014

Untuk ketiga kalinya...

Untuk ketiga kalinya, kau membuatku terjatuh di lubang yang sama. Tidak! Bukan kau yang menyeretku kebawah, tapi aku sendiri yang menuruti egoku. Aku sendiri yang membiarkan perasaan ini mengalir tanpa pernah mencoba menghentikannya. Aku sendiri yang menenggelamkan semua luka buatanmu, lalu memunculkan cinta ke permukaan. Aku yang membiarkanmu melakukan segalanya. Mungkin benar, ini salahku. Tapi jika kau tidak memberiku petasan-petasan harapan itu, aku tak akan terjerat lagi. Namun sayang, perasaanku masih sama dan tak pernah berubah. Aku –bahkan- masih sangat menyayangimu. Aku masih menginginkanmu kembali dalam dekapku. Tak peduli siapa yang sekarang disampingmu, siapa yang tlah memilikimu, siapa yang tlah bercongkol di hatimu, aku tak peduli. Aku hanya menginginkan belaian-belaian kalimat penuh sayang itu kembali meluncur dari bibirmu –walau ku tau itu tak pernah tulus. Dan ya, aku egois. Aku tak boleh menginginkannya. Aku tak boleh membiarkan diriku merasa membutuhkannya. Ini terlalu naif, tidak boleh.

Untuk ketiga kalinya pula, kau melebarkan sakit yang hingga saat ini masih membekas. Kau memasukkan paku-paku tajam yang tak bisa menjamin sebuah hati akan tetap bahagia bila ada diatasnya. Tidak bisakah kau berhenti memberiku harapan? Kenapa kau begitu ingin membuatku menderita? Seolah-olah kau memang diciptakan untuk menyakitiku. Menusukkan pisau tajam di dalam jiwaku. Menginjakkan sepatu duri di dalam hatiku. Memporak-porandakan seluruh isinya. Menjadikan semua berantakan. Kenapa kau melakukannya?


Dan lagi, untuk ketiga kalinya, kau tak pernah sekalipun menganggapku benar-benar ada. Bayanganku tak pernah kasat mata olehmu. Aku hanya angin lalu bagimu. Yang tak terlihat, hanya sesekali terasa. Bahkan menoleh sedikit saja ke arahku kau enggan. Bahkan membalas senyum yang tlah terpeta di wajahku pun kau tak mau. Apa yang sebenarnya kau rencanakan menyangkut hidupku?  Apakah semua sakit yang kau lakukan ini memang bagian dari sebuah ‘rencana’mu? Tidakkah kau lihat keadaanku sudah menyedihkan? Lalu, kau anggap apa semua kenangan yang tlah berlalu itu? Mungkin, aku sekarang hanya sedang bermimpi, dan mencoba ingin terbangun, tapi nyatanya ini bukan sekedar mimpi. Nyatanya kau tlah bersanding dengan orang yang kau nilai cocok sebagai pilihanmu. Nyatanya cintaku dihatimu tlah padam dan tak membara seperti dulu. Nyatanya aku memang tak bisa lagi mengambil alih kemudi hatimu. Nyatanya, kau memang tlah melupakanku bersama dengan kenangan-kenangan di sama lalu. Kapan aku akan sadar bahwa aku tak pernah benar-benar kau jadikan persinggahan?

Jumat, 30 Mei 2014

Everything's gonna be okay..

Kamu membuatku terperangkap dalam lubang yang kau buat. Lubang yang dalam dan sulit untuk mencari jalan keluar. Hanya diriku sendiri yang mampu melakukannya. Tapi aku tak bisa. Sungguh aku lelah. Aku terjerat. Tapi nyatanya kamu bukan tangga yang bisa membuatku mencari jalan keluar. Kamu hanya batu, yang tidak bisa membantu apa-apa. Ini bisa berhasil jika aku mengerahkan seluruh usahaku. Sayangnya, aku telah terbius oleh hangat lubang yang menerkamku itu.

Ini kesalahanku, membiarkan semua mengalir begitu saja. Aku bagaikan butiran debu yang hanyut di tengah sungai. Tak bisa melawan arus, hanya dapat pasrah mengikutinya. Kenapa? Kenapa kamu mempersulit posisiku? Memperkeruh air sungai dengan menambahkan beban sebanyak-banyaknya. Aku lelah bertahan, aku ingin lolos, tapi nyatanya, arus sungai membelengguku.

Begitu sakit rasa ini tertahan, sehingga aku tak sanggup menyembunyikan air mata. Semua yang telah terjadi, tak bisa dikembalikan seperti semula. Aku bukan milikmu, kamu milik orang lain. Itu takdir, aku pun harus bisa menerimanya –dengan lapang dada.

Jangan menjauhiku, kita sepasang sahabat. Biarkan sakit ini aku yang menanggungnya sendiri. Jangan pedulikan aku. Karena aku memang tak pantas diperhatikan olehmu. Jangan anggap perbincangan ini nyata, anggap saja hanya angin lewat. Aku nggak mau membebanimu dengan semua tingkah kekanak-kanakanku. Terimakasih atas segalanya. Segalanya yang sempat kau indahkan disampingku. Senyummu, perhatianmu, kata-kata manismu, semuanya. Maafkan aku jika selama ini mengusik keberadaanmu, mengusik hidupmu, mengusik segala tetek bengek jalan kehidupanmu. Maafkan aku.

Senin, 17 Maret 2014

Just emm...

Berkali aku jatuh cinta, semakin lama semakin meningkat sakitnya. Mungkin karena aku terlalu merasa memiliki, jadi kurasakan kehilangan dini yang terlalu menyakiti. Kini, perasaan masih begitu kental seiring dengan sesak yang ikut berjejal. Tidak perlu ada yang tahu, airmataku penuh dibungkus oleh tisu-tisu itu. Tidak perlu ada yang mendengar, isak tangis yang menggelegar. Tidak perlu ada yang melihat bahwa aku sebenarnya tak nyaman dengan pemandangan yang disuguhkan. Tidak perlu ada yang bertanya siapa dalang dari segala luka. Tidak perlu ada yang merasa bersalah atas salahku yang tak disengaja. Ya, jatuh cinta padamu mungkin adalah sebuah dosa.

Kamis, 13 Maret 2014

Mendung tak berarti hujan

Aku terduduk kaku. Diam. Tanpa banyak bicara. Rasanya perutku mual saat ini. Rasanya aku segera ingin pergi jauh dari tempat ini. Dia telah pergi hari ini. Pergi meninggalkan sisa-sisa luka yang belum tuntas dia obati. Dia pergi meninggalkanku. Melupakan semua kenangan-kenangan kita. Kita? Yah, tapi kita yang dulu. Kita yang sekarang sudah berbeda. Sekitar lima menit yang lalu dia baru beranjak dari sisiku, lebih tepatnya dari bangku di taman ini. Dia telah memutuskan hubungan yang sudah tujuh bulan ini terjalin. Sia-sia memang pengorbananku. Tapi inilah takdir. Kurasa tidak pantas disebut takdir, ini memang nasibku.
Satu kenyataan yang harus kuhadapi sekarang, aku tak lagi ada di dalam hatinya. Aku telah dihapus olehnya menggunakan penghapus yang sudah lama dia beli tapi baru sempat menggunakannya sekarang. Dan dia gunakan untukku. Sakit hati? Jelas sekali. Kecewa? Of course. Tapi, aku bisa apa?
Lagipula, mungkin aku memang membuat suatu ‘kesalahan kecil’ yang berdampak besar. Entah apa itu, tapi yang jelas itu membuatnya yakin memutuskan hubungannya denganku. Tujuh bulan bukanlah waktu yang cepat, itu adalah waktu lama yang membuat kenangan-kenangan bertengger dalam benakku. Sempat ku mengulang memoriku pada waktu dulu kau duduk di depanku, membawa sebuah amplop kecil berwarna biru. Warna kesukaanku sejak aku kenal dengannya. Di dalam amplop itu terdapat sebuah kertas yang juga kecil, bertuliskan kata-kata yang waktu itu membuat aku pingsan saking senangnya. Tulisannya berupa ‘Aku sayang sama kamu. Boleh nggak aku isi hari-hariku bersamamu?’ dan sejak itulah kita bersama. Iya itu dulu.
Biru. Warna langit. Warna laut. Warna kesukaannya. Juga warna kesukaanku. Sejak aku mengenal biru, aku seperti tak dapat mengenal merah, ungu, kuning, atau apalah itu. Yang ada di pikiranku hanyalah sebuah suasana berwarna biru. Biru yang cerah, yang menggambarkan hatiku dulu. Dia yang telah mengajarkanku betapa pentingnya kita menjaga dunia, tidak mencemari lingkungan, dan tidak membuang sampah di sembarang tempat. Dia yang mengajariku arti cinta yang sesungguhnya, yang sebelumnya belum pernah aku kenal. Dia yang telah mengenalkanku betapa beruntungnya si biru. Dan dia juga yang telah membuatku sakit hati.
“Ra, bisa kita bicara sebentar?” Dia mendatangiku ketika aku masih melalap makanan di depanku. Bahkan aku juga masih ngobrol dengan sahabat terbaikku, Lita.
“Boleh, Lan.” Begitu aku memperbolehkan, dia langsung menarik tanganku dan membawaku ke taman sekolah. Taman sekolah yang sangat terjaga kebersihan dan keindahannya. Walaupun aku sudah hampir dua tahun bersekolah di sini, tapi aku masih saja takjub ketika melihat indahnya taman ini. Benar-benar memalukan...
“Aku mau kita putus, Ra. Aku bosan sama kamu. Aku juga udah nemuin pengganti kamu.” Bagai petir yang bergemuruh, kata-kata itu mencelos dari mulutnya. Dia lancar sekali mengucapkannya. Bahkan tak ada jeda sekalipun.
“Tapi... tapi apa artinya kita jalan tujuh bulan ini, Lan? Apa itu artinya semuanya sia-sia buat kamu? Dan kamu coba nglepasin aku. Seharusnya dari dulu aku sadar, kalau kamu cuma mempermainkan perasaan aku!" Setelah aku bicara rentetan kata demi kata itu, dia hanya memasang tampang ‘sok innocent’ tanpa mengucapkan apa-apa dan pergi meninggalkan aku sendirian.
Kembali aku mengingat kejadian tadi yang aku tau nggak akan berubah sekalipun. Walaupun aku merengek-rengek dan nangis darah di depan dia, mungkin dia akan tetap keukuh memutuskan hubungannya denganku. Kini, aku sadar betapa bodohnya diriku saat ini. Betapa bodohnya aku percaya bualan-bualan manisnya Dylan itu.
Disaat genting seperti ini, sahabat terbaikku tidak menghampiriku. Aku, seorang Tiara, tidak boleh terus menerus berurusan dengan hal yang dikenal dengan tangis. Seorang Tiara harus yakin bahwa dia bisa move on dari cowok seperti Dylan. Aku yakin aku akan bisa, mungkin.
*
Seandainya bel masuk nggak berbunyi, pasti aku nggak akan balik ke kelas deh sebelum pelajarannya usai. Nggak akan kalau masih ketemu cowok tengil itu. Di kelas, dia kelihatan santai tanpa banyak masalah. Dia nggak merasa bersalah telah menyakiti hati orang yang benar-benar sayang padanya. Sungguh kelakuan yang sulit dimaafkan.
“Ta, gue putus nih sama Dylan. Kok tadi lo nggak nyamperin gue?” bisikku dengan pelan. Bahkan sangat pelan karena guru yang sekarang mengajar adalah guru killer yang sangat memperhatikan keseriusan dalam pelajaran di kelas.
“...”
Lita tidak menanggapiku. Sekedar menggeleng atau mengangguk pun tidak ia lakukan. Sepertinya ada yang tidak beres. Dan feelingkulah yang mengatakannya. Akan ada kejadian yang membuat aku kaget akhir nanti. Semoga saja feelingku itu meleset dan benar-benar tidak tepat sasaran.
“Litaaa..! Loe kenapa sih? Loe marah gue putus sama Dylan? Bukan gue yang mutusin, tapi Dylan sendiri. Dia bilang udah nemuin pengganti gue!” Lagi-lagi aku harus bicara dalam bisikan. Takut bu killer mendengar semua omonganku.
Lita tetap diam. Mungkin dia sedang PMS jadi perutnya sakit dan takut ke kamar mandi. Atau mungkin dia memendam kemarahannya yang akan ditumpahkan saat pulang sekolah nanti. Oh jangan deh...
*
Aku mencurigai sesuatu hal. Sesuatu yang tabu aku curigai. Nggak boleh dong ya, aku mencurigai sahabatku sendiri? Sahabat macam apa aku ini. Lita menjauhiku. Waktu aku menelepon dia, dia bilang lagi capek banget jadi nggak bisa ngobrol. Waktu aku sms dia berkali-kali, aku lihat nggak ada balasan masuk dari Lita dalam hapeku. Sejak pulang sekolah, dia bersikap tidak seperti biasanya. Dia bersikap seolah-olah dia tidak mengenaliku. Padahal sudah berkali-kali aku memanggilnya, tapi dia tidak menoleh sekali pun. Sebelumnya dia tidak seperti ini. Dia seperti ini setelah aku bilang putus sama Dylan...
Ah iya, kecurigaanku berakhir di situ. Apa mungkin ada hubungan spesial antara Dylan dengan Lita ya? Apa mungkin ini hanya perasaanku saja. Tapi aku juga nggak mungkin kan, kalau langsung menuduh Lita begitu saja. Bisa-bisa hancur persahabatanku dengannya. Tapi ini bukan Lita kalau menyembunyikan sesuatu dariku ini. Ini seperti orang lain.
Esok harinya, aku berangkat pagi-pagi sekali tidak seperti biasanya. Sesampainya di kelas, ku lihat sudah ada dua orang membelakangiku. Kurasa mereka tidak menyadari kedatanganku. Sepertinya mereka tidak asing di mataku. Itu seperti Lita dan... Dylan? Tapi kenapa mereka tertawa bersama dengan mesra seperti orang pacaran? Mungkin firasatku benar. Mungkin mereka memang ada hubungan spesial yang disembunyikan dariku.
Pantas saja kemarin setelah aku memberitahu Lita bahwa aku putus dari Dylan, dia diam saja. Mungkin dia merasa bersalah denganku. Tapi rupanya dugaanku meleset. Lita bahkan sekarang dengan tampang innocent mesra-mesraan dengan Dylan di depanku. Yah.. walau mereka belum menyadari ada aku di sini. Di belakangnya melihat mereka bercanda seolah-olah dunia milik mereka berdua.
“Ta, gue nggak nyangka lo sejahat ini sama gue!” Aku mendesis tajam dan pergi meninggalkannya. Tak kuhiraukan teriakan Lita yang mencoba memanggilku. Aku berlari menyusuri murid yang baru saja datang ke sekolah dengan air mata yang menumpah di pipiku. Kakiku melangkah menuju ke taman itu. Taman dimana Dylan meninggalkan luka disini. Dihatiku.
Aku nggak nyangka, Lita yang dulu sangat baik menusukku dari belakang. Apa dia sengaja menarik perhatian Dylan supaya Dylan memutuskanku? Inikah yang dinamakan sahabat sejati? Sahabat sejati akan selalu menemani sahabatnya ketika senang maupun sedih. Tapi, Lita? Dia bahkan tidak menghampiriku ketika aku sakit hati. Dia menghiraukanku. Dia tidak bertanya, kenapa putuslah, kenapa aku nggak mempertahankan lah. Dia benar-benar bungkam. Jadi, ini jawaban Lita saat kemarin mendiamkanku? Perih, sangat perih.
Hapeku bergetar. Siapa pagi begini sudah sms? Mama mungkin.
From: Lita ‘bestfriend’
Ra, gw mnta mf sma lo. Gw bsa jelasin smua. Cptan ke kls skrg. Gw tnggu keburu bel msk!
Aku luluh. Akhirnya, aku menghapus air mataku dan pergi meninggalkan bangku taman ini. Untuk mengampiri Lita. Aku hanya ingin tau apa yang sebenarnya telah terjadi. Apa yang sebenarnya telah ia lakukan sehingga membuat aku kaget.
Dia menjelaskan semuanya padaku. Dengan jelas, tidak ada kalimat yang tidak aku pahami. Dan aku juga tidak memotong penjelasannya. Aku mendengarkannya dengan baik. Dia bilang bahwa kemarin Dylan mengampirinya hanya untuk curhat. Dylan bingung mau curhat ke siapa, dan memutuskan untuk curhat ke sahabat terdekatku. Tapi apa aku bisa percaya semua penjelasannya Lita?
Aku harus percaya. Walaupun hatiku berkata tidak, tapi aku harus percaya pada semua kata-katanya. Bagaimanapun juga, dia tetap sahabaku. Aku tidak percaya kalau dia sampai membohongiku. Dia juga jujur, bahwa sebenarnya dia menyukai Dylan dari dulu sebelum aku jadian. Aku bisa membayangkan, betapa hancurnya Lita waktu itu. Betapa pengkhianatnya aku sampai menyakiti hati sahabatku sendiri. Tapi waktu itu aku tidak tau bahwa Lita menyukai seseorang yang telah menjadi pacarku. Sungguh, aku merasa berdosa kali ini.
“Gue waktu itu bingung, mau seneng, atau sedih. Tapi nyatanya, gue nggak buka mulut. Dan membuat kekhawatiran lo. Maafin gue, Ra,” akunya waktu itu.
“Enggak, Ta. Gue yang minta maaf. Gue bener-bener nggak tau perasaan lo. Gue ngerasa orang paling bodoh sedunia. Gue bener-bener minta maaf, Ta. Gue nyesel nggak jadi sahabat yang terbaik buat lo.”
“Udah, Ra. Gue dari dulu juga udah nyoba nglepasin Dylan. Gue nyoba nerima kenyataan, Ra. Dan sejauh ini gue hampir bisa. Lo tetep sahabat yang paliiiiiing baik buat gue, sampai kapanpun itu. Sekarang nggak perlu minta maaf lagi, lo udah nggak sama Dylan, dan gue juga udah move on. Ayo move on, Ra!” Kata-kata Lita membangkitkanku. Membangkitkan semangatku untuk melupakan Dylan.

Ya, aku harus melupakan cowok yang telah membuat air mataku berkejaran di pipiku. Aku juga tidak akan menyakiti sahabatku lagi. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tidak akan pernah.

Kalah, atau mengalah?

Kau memunggungiku. Memasangkan sebuah kain yang menjadi aksesorismu hari ini. Menampakkan wajah yang terdapat lekukan di pipimu. Kau membuatku terpesona, lagi. Membuatku mau tidak mau mengajakmu berpose. Menampilkan senyum setiap kamera siap mengabadikan kita. Aku bahagia, sungguh. Melihat foto awalmu yang terlalu condong menjauhiku, kau meminta kita foto kembali. Buih-buih kebahagiaan bertebaran di sekelilingku. Mengajakku bernyanyi dan menari-nari ria melupakan kesedihan yang hari lalu tercipta.

Tetapi kenapa ketika sang dewi malam telah datang, kelakuanmu membuatku menahan air mata? Kenapa aku tidak diperbolehkan bahagia walau hanya sebentar saja. Social media. Itulah tempatmu menyebarkan nomor yang menjadi prioritasmu. Pegangan barumu, handphone. Barang sekecil itu telah membuat hatiku goyah. Memaksaku untuk menangis. Bolehkah? Bolehkah aku tidak rela melihat kamu menyebarkan hal yang menjadi milikmu? Berhakkah aku? Tidak! Aku bukan pacar, saudara, ataupun keluargamu. Aku hanya teman. Tidak lebih.

Hari berikutnya, kau melihat benda bulat yang kesana kemari diperebutkan. Ragaku beranjak tuk menghampirimu. Menanyakan sebuah hal untuk sekedar basa-basi. Namun, kakimu kini telah kembali kau renggangkan. Kau berdiri dan tak lagi duduk disampingku. Kembali hatiku remuk hanya dengan kejadian sekecil itu. Lalu, aku berjalan menghampiri gerombolan anak yang nyatanya para sahabatku. Mencoba meminjam benda barumu itu adalah hal yang sejak tadi ingin ku lakukan. Kau mengambilkannya, dan handphonemu tergenggam di tanganku.


Ku lihat yang sudah kurencanakan untuk mataku. Ku baca semua yang ku buka. Dan kini, lensa mataku menemukan sebuah kata-kata yang sukses merekahkan luka. Pupus sudah harapanku. Hilang sudah kepercayaan diriku. Mungkin aku memang bukan untukmu. Saat ini, dengan genggaman tanganku, dengan tekat mantap hatiku, dengan mata yang masih meneteskan segerombol bulir-bulir air, dengan jiwa yang mencoba tegar, aku berkata Jika kelak kau tau aku menyayangimu dan ternyata kau juga merasakannya, datanglah padaku. Buktikan bahwa rasaku tidak bertepuk sebelah tangan dan aku bisa bernafas bersama-sama denganmu. Tapi untuk saat ini, aku lelah. Dan aku memilih... mengalah.”