Kamis, 13 Maret 2014

Mendung tak berarti hujan

Aku terduduk kaku. Diam. Tanpa banyak bicara. Rasanya perutku mual saat ini. Rasanya aku segera ingin pergi jauh dari tempat ini. Dia telah pergi hari ini. Pergi meninggalkan sisa-sisa luka yang belum tuntas dia obati. Dia pergi meninggalkanku. Melupakan semua kenangan-kenangan kita. Kita? Yah, tapi kita yang dulu. Kita yang sekarang sudah berbeda. Sekitar lima menit yang lalu dia baru beranjak dari sisiku, lebih tepatnya dari bangku di taman ini. Dia telah memutuskan hubungan yang sudah tujuh bulan ini terjalin. Sia-sia memang pengorbananku. Tapi inilah takdir. Kurasa tidak pantas disebut takdir, ini memang nasibku.
Satu kenyataan yang harus kuhadapi sekarang, aku tak lagi ada di dalam hatinya. Aku telah dihapus olehnya menggunakan penghapus yang sudah lama dia beli tapi baru sempat menggunakannya sekarang. Dan dia gunakan untukku. Sakit hati? Jelas sekali. Kecewa? Of course. Tapi, aku bisa apa?
Lagipula, mungkin aku memang membuat suatu ‘kesalahan kecil’ yang berdampak besar. Entah apa itu, tapi yang jelas itu membuatnya yakin memutuskan hubungannya denganku. Tujuh bulan bukanlah waktu yang cepat, itu adalah waktu lama yang membuat kenangan-kenangan bertengger dalam benakku. Sempat ku mengulang memoriku pada waktu dulu kau duduk di depanku, membawa sebuah amplop kecil berwarna biru. Warna kesukaanku sejak aku kenal dengannya. Di dalam amplop itu terdapat sebuah kertas yang juga kecil, bertuliskan kata-kata yang waktu itu membuat aku pingsan saking senangnya. Tulisannya berupa ‘Aku sayang sama kamu. Boleh nggak aku isi hari-hariku bersamamu?’ dan sejak itulah kita bersama. Iya itu dulu.
Biru. Warna langit. Warna laut. Warna kesukaannya. Juga warna kesukaanku. Sejak aku mengenal biru, aku seperti tak dapat mengenal merah, ungu, kuning, atau apalah itu. Yang ada di pikiranku hanyalah sebuah suasana berwarna biru. Biru yang cerah, yang menggambarkan hatiku dulu. Dia yang telah mengajarkanku betapa pentingnya kita menjaga dunia, tidak mencemari lingkungan, dan tidak membuang sampah di sembarang tempat. Dia yang mengajariku arti cinta yang sesungguhnya, yang sebelumnya belum pernah aku kenal. Dia yang telah mengenalkanku betapa beruntungnya si biru. Dan dia juga yang telah membuatku sakit hati.
“Ra, bisa kita bicara sebentar?” Dia mendatangiku ketika aku masih melalap makanan di depanku. Bahkan aku juga masih ngobrol dengan sahabat terbaikku, Lita.
“Boleh, Lan.” Begitu aku memperbolehkan, dia langsung menarik tanganku dan membawaku ke taman sekolah. Taman sekolah yang sangat terjaga kebersihan dan keindahannya. Walaupun aku sudah hampir dua tahun bersekolah di sini, tapi aku masih saja takjub ketika melihat indahnya taman ini. Benar-benar memalukan...
“Aku mau kita putus, Ra. Aku bosan sama kamu. Aku juga udah nemuin pengganti kamu.” Bagai petir yang bergemuruh, kata-kata itu mencelos dari mulutnya. Dia lancar sekali mengucapkannya. Bahkan tak ada jeda sekalipun.
“Tapi... tapi apa artinya kita jalan tujuh bulan ini, Lan? Apa itu artinya semuanya sia-sia buat kamu? Dan kamu coba nglepasin aku. Seharusnya dari dulu aku sadar, kalau kamu cuma mempermainkan perasaan aku!" Setelah aku bicara rentetan kata demi kata itu, dia hanya memasang tampang ‘sok innocent’ tanpa mengucapkan apa-apa dan pergi meninggalkan aku sendirian.
Kembali aku mengingat kejadian tadi yang aku tau nggak akan berubah sekalipun. Walaupun aku merengek-rengek dan nangis darah di depan dia, mungkin dia akan tetap keukuh memutuskan hubungannya denganku. Kini, aku sadar betapa bodohnya diriku saat ini. Betapa bodohnya aku percaya bualan-bualan manisnya Dylan itu.
Disaat genting seperti ini, sahabat terbaikku tidak menghampiriku. Aku, seorang Tiara, tidak boleh terus menerus berurusan dengan hal yang dikenal dengan tangis. Seorang Tiara harus yakin bahwa dia bisa move on dari cowok seperti Dylan. Aku yakin aku akan bisa, mungkin.
*
Seandainya bel masuk nggak berbunyi, pasti aku nggak akan balik ke kelas deh sebelum pelajarannya usai. Nggak akan kalau masih ketemu cowok tengil itu. Di kelas, dia kelihatan santai tanpa banyak masalah. Dia nggak merasa bersalah telah menyakiti hati orang yang benar-benar sayang padanya. Sungguh kelakuan yang sulit dimaafkan.
“Ta, gue putus nih sama Dylan. Kok tadi lo nggak nyamperin gue?” bisikku dengan pelan. Bahkan sangat pelan karena guru yang sekarang mengajar adalah guru killer yang sangat memperhatikan keseriusan dalam pelajaran di kelas.
“...”
Lita tidak menanggapiku. Sekedar menggeleng atau mengangguk pun tidak ia lakukan. Sepertinya ada yang tidak beres. Dan feelingkulah yang mengatakannya. Akan ada kejadian yang membuat aku kaget akhir nanti. Semoga saja feelingku itu meleset dan benar-benar tidak tepat sasaran.
“Litaaa..! Loe kenapa sih? Loe marah gue putus sama Dylan? Bukan gue yang mutusin, tapi Dylan sendiri. Dia bilang udah nemuin pengganti gue!” Lagi-lagi aku harus bicara dalam bisikan. Takut bu killer mendengar semua omonganku.
Lita tetap diam. Mungkin dia sedang PMS jadi perutnya sakit dan takut ke kamar mandi. Atau mungkin dia memendam kemarahannya yang akan ditumpahkan saat pulang sekolah nanti. Oh jangan deh...
*
Aku mencurigai sesuatu hal. Sesuatu yang tabu aku curigai. Nggak boleh dong ya, aku mencurigai sahabatku sendiri? Sahabat macam apa aku ini. Lita menjauhiku. Waktu aku menelepon dia, dia bilang lagi capek banget jadi nggak bisa ngobrol. Waktu aku sms dia berkali-kali, aku lihat nggak ada balasan masuk dari Lita dalam hapeku. Sejak pulang sekolah, dia bersikap tidak seperti biasanya. Dia bersikap seolah-olah dia tidak mengenaliku. Padahal sudah berkali-kali aku memanggilnya, tapi dia tidak menoleh sekali pun. Sebelumnya dia tidak seperti ini. Dia seperti ini setelah aku bilang putus sama Dylan...
Ah iya, kecurigaanku berakhir di situ. Apa mungkin ada hubungan spesial antara Dylan dengan Lita ya? Apa mungkin ini hanya perasaanku saja. Tapi aku juga nggak mungkin kan, kalau langsung menuduh Lita begitu saja. Bisa-bisa hancur persahabatanku dengannya. Tapi ini bukan Lita kalau menyembunyikan sesuatu dariku ini. Ini seperti orang lain.
Esok harinya, aku berangkat pagi-pagi sekali tidak seperti biasanya. Sesampainya di kelas, ku lihat sudah ada dua orang membelakangiku. Kurasa mereka tidak menyadari kedatanganku. Sepertinya mereka tidak asing di mataku. Itu seperti Lita dan... Dylan? Tapi kenapa mereka tertawa bersama dengan mesra seperti orang pacaran? Mungkin firasatku benar. Mungkin mereka memang ada hubungan spesial yang disembunyikan dariku.
Pantas saja kemarin setelah aku memberitahu Lita bahwa aku putus dari Dylan, dia diam saja. Mungkin dia merasa bersalah denganku. Tapi rupanya dugaanku meleset. Lita bahkan sekarang dengan tampang innocent mesra-mesraan dengan Dylan di depanku. Yah.. walau mereka belum menyadari ada aku di sini. Di belakangnya melihat mereka bercanda seolah-olah dunia milik mereka berdua.
“Ta, gue nggak nyangka lo sejahat ini sama gue!” Aku mendesis tajam dan pergi meninggalkannya. Tak kuhiraukan teriakan Lita yang mencoba memanggilku. Aku berlari menyusuri murid yang baru saja datang ke sekolah dengan air mata yang menumpah di pipiku. Kakiku melangkah menuju ke taman itu. Taman dimana Dylan meninggalkan luka disini. Dihatiku.
Aku nggak nyangka, Lita yang dulu sangat baik menusukku dari belakang. Apa dia sengaja menarik perhatian Dylan supaya Dylan memutuskanku? Inikah yang dinamakan sahabat sejati? Sahabat sejati akan selalu menemani sahabatnya ketika senang maupun sedih. Tapi, Lita? Dia bahkan tidak menghampiriku ketika aku sakit hati. Dia menghiraukanku. Dia tidak bertanya, kenapa putuslah, kenapa aku nggak mempertahankan lah. Dia benar-benar bungkam. Jadi, ini jawaban Lita saat kemarin mendiamkanku? Perih, sangat perih.
Hapeku bergetar. Siapa pagi begini sudah sms? Mama mungkin.
From: Lita ‘bestfriend’
Ra, gw mnta mf sma lo. Gw bsa jelasin smua. Cptan ke kls skrg. Gw tnggu keburu bel msk!
Aku luluh. Akhirnya, aku menghapus air mataku dan pergi meninggalkan bangku taman ini. Untuk mengampiri Lita. Aku hanya ingin tau apa yang sebenarnya telah terjadi. Apa yang sebenarnya telah ia lakukan sehingga membuat aku kaget.
Dia menjelaskan semuanya padaku. Dengan jelas, tidak ada kalimat yang tidak aku pahami. Dan aku juga tidak memotong penjelasannya. Aku mendengarkannya dengan baik. Dia bilang bahwa kemarin Dylan mengampirinya hanya untuk curhat. Dylan bingung mau curhat ke siapa, dan memutuskan untuk curhat ke sahabat terdekatku. Tapi apa aku bisa percaya semua penjelasannya Lita?
Aku harus percaya. Walaupun hatiku berkata tidak, tapi aku harus percaya pada semua kata-katanya. Bagaimanapun juga, dia tetap sahabaku. Aku tidak percaya kalau dia sampai membohongiku. Dia juga jujur, bahwa sebenarnya dia menyukai Dylan dari dulu sebelum aku jadian. Aku bisa membayangkan, betapa hancurnya Lita waktu itu. Betapa pengkhianatnya aku sampai menyakiti hati sahabatku sendiri. Tapi waktu itu aku tidak tau bahwa Lita menyukai seseorang yang telah menjadi pacarku. Sungguh, aku merasa berdosa kali ini.
“Gue waktu itu bingung, mau seneng, atau sedih. Tapi nyatanya, gue nggak buka mulut. Dan membuat kekhawatiran lo. Maafin gue, Ra,” akunya waktu itu.
“Enggak, Ta. Gue yang minta maaf. Gue bener-bener nggak tau perasaan lo. Gue ngerasa orang paling bodoh sedunia. Gue bener-bener minta maaf, Ta. Gue nyesel nggak jadi sahabat yang terbaik buat lo.”
“Udah, Ra. Gue dari dulu juga udah nyoba nglepasin Dylan. Gue nyoba nerima kenyataan, Ra. Dan sejauh ini gue hampir bisa. Lo tetep sahabat yang paliiiiiing baik buat gue, sampai kapanpun itu. Sekarang nggak perlu minta maaf lagi, lo udah nggak sama Dylan, dan gue juga udah move on. Ayo move on, Ra!” Kata-kata Lita membangkitkanku. Membangkitkan semangatku untuk melupakan Dylan.

Ya, aku harus melupakan cowok yang telah membuat air mataku berkejaran di pipiku. Aku juga tidak akan menyakiti sahabatku lagi. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Tidak akan pernah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar