Kau
memunggungiku. Memasangkan sebuah kain yang menjadi aksesorismu hari ini.
Menampakkan wajah yang terdapat lekukan di pipimu. Kau membuatku terpesona,
lagi. Membuatku mau tidak mau mengajakmu berpose. Menampilkan senyum setiap
kamera siap mengabadikan kita. Aku bahagia, sungguh. Melihat foto awalmu yang
terlalu condong menjauhiku, kau meminta kita foto kembali. Buih-buih
kebahagiaan bertebaran di sekelilingku. Mengajakku bernyanyi dan menari-nari
ria melupakan kesedihan yang hari lalu tercipta.
Tetapi kenapa
ketika sang dewi malam telah datang, kelakuanmu membuatku menahan air mata?
Kenapa aku tidak diperbolehkan bahagia walau hanya sebentar saja. Social media.
Itulah tempatmu menyebarkan nomor yang menjadi prioritasmu. Pegangan barumu,
handphone. Barang sekecil itu telah membuat hatiku goyah. Memaksaku untuk
menangis. Bolehkah? Bolehkah aku tidak rela melihat kamu menyebarkan hal yang
menjadi milikmu? Berhakkah aku? Tidak! Aku bukan pacar, saudara, ataupun
keluargamu. Aku hanya teman. Tidak lebih.
Hari berikutnya,
kau melihat benda bulat yang kesana kemari diperebutkan. Ragaku beranjak tuk
menghampirimu. Menanyakan sebuah hal untuk sekedar basa-basi. Namun, kakimu
kini telah kembali kau renggangkan. Kau berdiri dan tak lagi duduk disampingku.
Kembali hatiku remuk hanya dengan kejadian sekecil itu. Lalu, aku berjalan
menghampiri gerombolan anak yang nyatanya para sahabatku. Mencoba meminjam
benda barumu itu adalah hal yang sejak tadi ingin ku lakukan. Kau mengambilkannya,
dan handphonemu tergenggam di tanganku.
Ku lihat yang
sudah kurencanakan untuk mataku. Ku baca semua yang ku buka. Dan kini, lensa
mataku menemukan sebuah kata-kata yang sukses merekahkan luka. Pupus sudah
harapanku. Hilang sudah kepercayaan diriku. Mungkin aku memang bukan untukmu.
Saat ini, dengan genggaman tanganku, dengan tekat mantap hatiku, dengan mata
yang masih meneteskan segerombol bulir-bulir air, dengan jiwa yang mencoba
tegar, aku berkata Jika kelak kau tau aku menyayangimu dan ternyata kau juga
merasakannya, datanglah padaku. Buktikan bahwa rasaku tidak bertepuk sebelah
tangan dan aku bisa bernafas bersama-sama denganmu. Tapi untuk saat ini, aku
lelah. Dan aku memilih... mengalah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar