Sabtu, 12 Januari 2013

Missing you, Dear


HELLO! Aku kembali dan membawa sebuah cerpen *jengjeng* Ini cerpen agak-agak copast gitu. Tapi lupa copast dimana hehe. Langsung aja ya, malas basa-basi. Makloem, lagi galauws!



“Hoahmm..  Selamat  pagi  dunia,”  ucapku  sambil  membuka  jendela  kamarku  lalu  kulanjutkan  untuk  duduk  dipinggir  jendela  tersebut  sambil  merenggangkan  otot-otot  kedua  tanganku.  “Hari  yang  begitu  cerah,  tapi  secerah-cerahnya  pagi  ini  tetap  tidak  secerah  hatiku.  Hatiku  suram,”  lanjutku  seraya  mengamati  jalanan  komplek  rumahku,  dari  kamarku  yang  berada  dilantai  2  itu.
“Hhh…”
Aku  mendesah  kecil.  Melihat  pemandangan  di  jalanan  komplek  perumahanku  tersebut.  Ku  lihat  beberapa  anak  kecil  sedang  bermain  dengan  ria,  tanpa  beban  pikiran  apapun.  Aku  menghela  nafas  panjang.  Ku  putar  lagi  memoriku  bersamamu  dulu.  Dulu  sekali.  Memori  yang  selalu  tersimpan  di  benakku  sampai  saat  ini.  Andai  saja  aku  bisa  memutar  waktu,  aku  tak  ingin  mengenal  dirimu.  Aku  tak  ingin  masuk  ke  dalam  hatimu.  Apapun  itu.  Rasanya,  aku  ingin  sekali  kembali  seperti  anak-anak  kecil  yang  sedang  berlarian  mengejar  angin  yang  berhembus,  tertawa  ria, dan  penuh  rasa  bahagia.  Tanpa  beban  sedikitpun  dalam  hati  mereka.
Kini,  mataku  tertuju  pada  sebuah  boneka  yang  ku  simpan  rapi  di  dalam  lemari  khusus.  Lemari  yang  disediakan  hanya  untuk  benda-benda  berharga  untukku.  Mulai  dari  Piala,  Piagam,  dan… boneka  kenanganku  denganmu.
Ku  beranjak  dari  sisi  jendela,  lalu  melangkah  kecil  mengambil  boneka  yang  sangat  lucu  itu.  Ku  gapai  dari  tanganku,  kupeluk  erat  boneka  tersebut.  Sangat  erat  dan  semakin  erat.  Aku  pun  merasakan  sesuatu  yang  berbeda  saat  ku  peluk  dangan  penuh  rasa  yang  sungguh  tak  bisa  diungkapkan.  Aku  merasakan  kehangatan.  Aku  juga  merasa  kalau  kini, kamu  ada  di  dekatku.  Bersamaku.
“Aku  kangen  kamu,  Rio.  Padahal  kita  masih  tinggal  dalam  satu  kota  lho,  tapi  aku  bener-bener  kangen  sama  kamu.  Andai  saja  kita  satu  kampus.  Pasti  aku  nggak  bakalan  kayak  gini,”  gumamku  masih  dengan  posisi  boneka  ada  di  pelukanku.  Tak  ku  sangka,  aku  kembali  meneteskan  air  mata  untuk  kesekian  kalinya.
Icha.  Itulah  namaku.  Seorang  mahasiswi  di  kampus  UGM  Jogja.  Dulu,  semasa  SMA,  aku  mempunyai  kekasih  bernama  Rio.  Dia  tampan,  tapi  bukan  tampan  itulah  yang  membuat  aku  jatuh  hati  padanya.  Dia  mempunyai  sifat  yang  baik  dan  perhatian  kepadaku.  Dia  pula  cinta  pertamaku.  6  bulan  aku  berpacaran  dengannya.  Tapi,  hubungan  itu  kandas  begitu  saja.  Ada  seseorang  yang  dengan  sengaja  menghancurkan  hubunganku  itu.  Seseorang  yang  selalu  ku  banggakan  menjadi  seorang  sahabat  terbaikku.  Tapi  kini,  dia  mengkhianatiku  dengan  sadarnya.
**
 “Cha,  loe  udah  siap  belum  sih?  Buruan!  Ngaret  banget  sih!” Suara  Alvin  menggema  di  telingaku.  Kakakku  sekaligus  sahabat  setiaku  itu  berteriak-teriak  di  luar  kamarku.  Dialah  orang  yang  selalu  setia  mendengarkan  curhatku.  Dan  aku  pun  juga  orang  yang  selalu  setia  mendengarkan  curhatnya.  Mungkin.
“Hmm.. tunggu Kak.” Ku  menjawab  teriakan  kakakku  dengan  teriakku  juga.  Aku  segera  bergegas  keluar  kamar  untuk  menemui  kak  Alvin.  Kalau  tidak  segera  keluar,  nanti  kak  Alvin  tambah marah.
Hari  ini  hari  Minggu.  Hari  santai.  Terkadang,  aku  dan  kak  Alvin  keluar  rumah  pagi-pagi  untuk  jogging.  Kalau  tidak,  kami  keluar  rumah  sekedar  untuk  menikmati  suasana  pagi  yang  menyejukkan  hati.  Begitu  pula  hari  ini.  Dengan  kaos  lengan  panjang  dan  celana  tiga  per  empat,  aku  bersiap  jogging  dengan  kak  Alvin  yang  sudah  stand  by  di ruang  tamu  untuk  menungguku.
“Maaf  Kak.  Lama  yah  yang  nungguin?” Setiba  di  ruang  tamu,  aku  duduk  di  sebelah  kak  Alvin  yang  sedang  membaca  sebuah  majalah  dan  aku  bertanya.  Sekedar  menghilangkan  rasa  bersalah  kepada  kak  Alvin lah.
“Nggak kok.  Udah  yuk,  ntar  keburu  kesiangan  lho!”  Seraya  berdiri  dan  melangkah  keluar  rumah, kak  Alvin  mengajakku  untuk  segera.  Aku  pun  segera  menyusulnya  di  belakang.
**
Sudah  beberapa  menit  aku  di  taman  kota.  Lumayan  lama  aku  berolahraga  sambil  menenangkan  pikiranku.  Pagi  ini,  Jogja  memang  benar-benar  sejuk,  segar,  dan  sangat-sangat  indah  untuk  hati  yang  sering  galau  sepertiku  ini. Tapi  semua  itu  berubah sesaat, seketika jantungku berdegup kencang. Mungkin aku terlalu lelah. Perasaanku mulai tak nyaman, feelingku tidak baik untuk saat ini. Aku pun membujuk kak Alvin untuk kembali ke rumah. Penyakit kekhawatiranku kambuh. Aku takut akan terjadi sesuatu sama orang yang aku sayang. Apalagi kini mamaku sedang sendiri di rumah. Ayolah Cha.. berpikirlah positive!
“Kak, pulang yuk! Perasaan Icha nggak enak nih. Takut Mama kenapa-napa. Ayolah Kak,” ajakku dengan tampang melas. Aku memang sangat khawatir kepada mama.
“Nanggung lah Cha. Udahlah, Mama nggak apa-apa kok. Buktinya perasaan Kakak biasa-biasa saja,” jawab kak Alvin dengan santai. Aku mendengus kesal kepadanya.
“Please Kak. Nanti kalau sudah sampai rumah aku kasih nomor handphone Sivia deh. Tapi sekarang pulang dulu.” Kak Alvin pun tergiur dengan tawaranku dan ia langsung semangat bukan main untuk pulang.
“Yaudah ayo. Buruan!”
“Giliran tentang cewek aja dia langsung lari. Ditinggalin nih. Huft!”
Aku pun segera menyusul kak Alvin yang lari terbirit-birit bak dikejar anjing.
“Huh… Huh..”
Sepertinya ini ajang balapan lariku dengan kak Alvin. Sesampainya di rumah, aku menghela nafas. Ku atur dengan perlahan. Seperti neraka….
“Icha.. Alvin.. Kenapa kalian lari-larian begitu? Kayak anak kecil aja!” Mama menyambutku dengan gelengan kepala melihat tingkahku dengan kak Alvin. Kak Alvin sih, lari-larian segala!
“Mamaaa..” Ku bersyukur Mama berdiri di depanku dengan keadaan yang sehat bugar. Ku tersenyum. Ternyata benar apa yang dikatakan kak Alvin, maam tidak kenapa-napa. Syukurlah...
“Kamu kenapa, Sayang? Kamu diapain sama Kakakmu?” Belaian lembut mama di kepalaku terasa hangat. Terlihat gurat khawatir di wajah mama.
“Ehm..”
Aku berdesah kecil. Lalu ku tersenyum jail sambil melirik ke arah kak Alvin yang ada di sampingku sambil mengacak pinggang dan kecapekan.
“Icha itu Ma yang ngapa-ngapain aku. Tadi dia nyuruh aku pulang cepet buat liatin keadaan Mama. Katanya, dia khawatir banget tuh. Perasaannya nggak enak. Padahal perasaanku cuma biasa-biasa saja. Huuhh..”
“Lebay gitu, Kak. Ntar aku tepatin kok janjinya.” Ku kedipkan sebelah mataku kepada kak Alvin. Dia pun membalas dengan senyuman manisnya.
Ku tersenyum tipis sambil berjalan gontai menuju kamarku. Entah kenapa lagi, perasaanku kembali gundah. Namun, aku tetap terus melangkah mendekatai kamarku yang berada di lantai dua tersebut. Meski sekarang tubuhku berselimut keringat. Aku terlalu kecapekan pagi ini.
**
Brukk..
Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang dan berbaring sambil menatap langit-langit kamarku. Ku menghela nafas panjang. Mataku pun tertuju pada sebuah cahaya yang ada di handphoneku. Ku bergumam dan berjalan kecil beberapa langkah. Dengan niat mengambil handphoneku yang berada di meja belajarku.
“Chika.. Hmm..”
Icha, happy birthday ya. Maaf telat. Hehe
Aku juga mau bilang, Rio pindah ke Batam.
“Hah? Serius nih? Kok Rio nggak bilang sih? Pantes smsku nggak dibales-bales!” umpatku kesal bukan main. Dengan cepat dan tanggap, aku langsung membalas pesan Chika tersebut dan terjadi balas-balasan sms antara kami berdua.
To : Chika
Seriusan Chik? Tau dari mana? Kamu bohong kan?
From : Chika
Sumpah Cha! Kamu masih ingatkan sama Dea? Yang pengganggu hubungan kamu waktu lalu? Mereka udah putusan, karena kepindahan Rio. Aku diberi tau Shilla, temen satu kampus Rio.
To : Chika
Kapan Rio berangkat?
From : Chika
Pesawat pagi, pukul 09.35
“Apa? Jam 09.35? Dua puluh lima menit lagi!”
Saking terkejutnya, aku langsung berlari dengan tergesa-gesa menuju lantai bawah. Aku memutuskan untuk menyusul Rio di Bandara. Entahlah, kenapa tiba-tiba kakiku bergerak cepat untuk hal genting seperti ini.
“Eh Cha, kamu mau kemana?” cegat kak Alvin yang tiba-tiba nongol di depanku.
“Aduh Kak. Aku buru-buru banget ini. Aku pergi dulu ya.”
“Kemana Cha? Naik apa?”
“Mungkin taksi.” Aku berteriak menjawab pertanyaan kak Alvin sambil memandangi ke arah jalan, mencari taksi yang mungkin lewat.
“Biar aku anter, Cha.”
Di dalam perjalanan
“Kak buruan dong!” ucapku dengan tak sabar.
“Sabar kali Cha. Ini juga udah ngebut.”
Selang beberapa menit kemudian, kami pun sampai di Bandara Adi Sucipto. Aku tajamkan pandangan mataku ke seisi bandara. Aku sangat tergesa-gesa untuk mencari sesosok Rio. Where are you, Rio? Daripada celingukan begini, aku memutuskan untuk berlari menuju administrasi yang ada di dekatku dan menanyakan berangkat atau belumkah pesawat Rio.
“Emh.. Mbak, pesawat pagi tujuan Batam udah berangkat belum?” Aku menanyakan hal itu dengan nada yang terpotong-potong.
“Tadi sih lagi bermasalah, sebentar saya cek dulu,” jawab perempuan yang tadi aku tanyakan tentang seputar pesawat Rio.
Sedetik kemudian, aku merasakan suara Rio memanggil namaku. Mungkin hanya halusinasiku saja, pikirku. Tapi suara itu semakin jelas terdengar. Tidak! Itu nyata!
“Icha!”
Aku membalikkan badanku dan kulihat Rio sudah berdiri tegap di hadapanku. Rio tersenyum manis, bahkan sangat manis sampai membuat aku hampir ambruk di hadapannya. Tapi itu memang benar. Aku langsung ambruk di tubuh Rio. Aku memeluk Rio dengan eratnya.
“Rio, kamu benar mau pindah ke Batam?” tanyaku langsung kepada Rio. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut manisnya. Ia hanya mengangguk dan tersenyum. Aku pun berkata lagi,
“Aku tau Yo, aku bukan siapa-siapa untukmu. Tapi, aku ingin melihatmu untuk yang terakhir kali. Jangan pernah lupain aku ya.”
“Iya Cha. Aku nggak bakal lupain cinta terindahku.”
Aku kembali memeluk Rio erat dan meneteskan air mata dalam pelukan yang hangat tersebut. Beberapa detik tlah berlalu, Rio kembali melepaskan pelukan tersebut. Ia pun menghapus air mata yang terurai lembut di pipiku. Ia kembali tersenyum untukku dan melangkah pergi dari hadapanku.
“Maafkan aku yang sudah membuat kecewa. Aku harus pergi….”

Nah, tuh udah tuh. Maap ye jelek. Thx!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar