HELLO! Aku kembali dan membawa sebuah cerpen *jengjeng* Ini cerpen agak-agak copast gitu. Tapi lupa copast dimana hehe. Langsung aja ya, malas basa-basi. Makloem, lagi galauws!
“Hoahmm.. Selamat pagi
dunia,” ucapku sambil
membuka jendela kamarku
lalu kulanjutkan untuk
duduk dipinggir jendela
tersebut sambil merenggangkan
otot-otot kedua tanganku.
“Hari yang begitu
cerah, tapi secerah-cerahnya pagi
ini tetap tidak
secerah hatiku. Hatiku
suram,” lanjutku seraya
mengamati jalanan komplek
rumahku, dari kamarku
yang berada dilantai
2 itu.
“Hhh…”
Aku mendesah kecil.
Melihat pemandangan di
jalanan komplek perumahanku
tersebut. Ku lihat
beberapa anak kecil
sedang bermain dengan
ria, tanpa beban
pikiran apapun. Aku
menghela nafas panjang.
Ku putar lagi
memoriku bersamamu dulu.
Dulu sekali. Memori
yang selalu tersimpan
di benakku sampai
saat ini. Andai
saja aku bisa
memutar waktu, aku
tak ingin mengenal
dirimu. Aku tak
ingin masuk ke
dalam hatimu. Apapun
itu. Rasanya, aku
ingin sekali kembali
seperti anak-anak kecil
yang sedang berlarian
mengejar angin yang
berhembus, tertawa ria, dan
penuh rasa bahagia.
Tanpa beban sedikitpun
dalam hati mereka.
Kini, mataku tertuju
pada sebuah boneka
yang ku simpan
rapi di dalam
lemari khusus. Lemari
yang disediakan hanya
untuk benda-benda berharga
untukku. Mulai dari
Piala, Piagam, dan… boneka
kenanganku denganmu.
Ku beranjak dari
sisi jendela, lalu
melangkah kecil mengambil
boneka yang sangat
lucu itu. Ku
gapai dari tanganku,
kupeluk erat boneka
tersebut. Sangat erat
dan semakin erat.
Aku pun merasakan
sesuatu yang berbeda
saat ku peluk
dangan penuh rasa
yang sungguh tak
bisa diungkapkan. Aku
merasakan kehangatan. Aku
juga merasa kalau
kini, kamu ada di
dekatku. Bersamaku.
“Aku kangen kamu,
Rio. Padahal kita
masih tinggal dalam
satu kota lho,
tapi aku bener-bener
kangen sama kamu.
Andai saja kita
satu kampus. Pasti
aku nggak bakalan
kayak gini,” gumamku
masih dengan posisi
boneka ada di
pelukanku. Tak ku
sangka, aku kembali
meneteskan air mata
untuk kesekian kalinya.
Icha. Itulah namaku.
Seorang mahasiswi di
kampus UGM Jogja.
Dulu, semasa SMA,
aku mempunyai kekasih
bernama Rio. Dia
tampan, tapi bukan
tampan itulah yang
membuat aku jatuh
hati padanya. Dia
mempunyai sifat yang
baik dan perhatian
kepadaku. Dia pula
cinta pertamaku. 6
bulan aku berpacaran
dengannya. Tapi, hubungan
itu kandas begitu
saja. Ada seseorang
yang dengan sengaja
menghancurkan hubunganku itu.
Seseorang yang selalu
ku banggakan menjadi
seorang sahabat terbaikku.
Tapi kini, dia
mengkhianatiku dengan sadarnya.
**
“Cha, loe
udah siap belum
sih? Buruan! Ngaret
banget sih!” Suara Alvin
menggema di telingaku.
Kakakku sekaligus sahabat
setiaku itu berteriak-teriak di
luar kamarku. Dialah
orang yang selalu
setia mendengarkan curhatku.
Dan aku pun
juga orang yang
selalu setia mendengarkan
curhatnya. Mungkin.
“Hmm.. tunggu Kak.” Ku menjawab teriakan
kakakku dengan teriakku
juga. Aku segera
bergegas keluar kamar
untuk menemui kak
Alvin. Kalau tidak
segera keluar, nanti
kak Alvin tambah marah.
Hari ini hari
Minggu. Hari santai.
Terkadang, aku dan
kak Alvin keluar
rumah pagi-pagi untuk
jogging. Kalau tidak,
kami keluar rumah
sekedar untuk menikmati
suasana pagi yang
menyejukkan hati. Begitu
pula hari ini.
Dengan kaos lengan
panjang dan celana
tiga per empat,
aku bersiap jogging dengan
kak Alvin yang
sudah stand by di
ruang tamu untuk
menungguku.
“Maaf Kak. Lama
yah yang nungguin?” Setiba di
ruang tamu, aku
duduk di sebelah
kak Alvin yang
sedang membaca sebuah
majalah dan aku
bertanya. Sekedar menghilangkan
rasa bersalah kepada
kak Alvin lah.
“Nggak kok. Udah yuk,
ntar keburu kesiangan
lho!” Seraya berdiri
dan melangkah keluar
rumah, kak Alvin mengajakku
untuk segera. Aku
pun segera menyusulnya
di belakang.
**
Sudah beberapa menit
aku di taman
kota. Lumayan lama
aku berolahraga sambil
menenangkan pikiranku. Pagi
ini, Jogja memang
benar-benar sejuk, segar,
dan sangat-sangat indah
untuk hati yang
sering galau sepertiku
ini. Tapi semua itu berubah sesaat, seketika jantungku berdegup
kencang. Mungkin aku terlalu lelah. Perasaanku mulai tak nyaman, feelingku
tidak baik untuk saat ini. Aku pun membujuk kak Alvin untuk kembali ke rumah.
Penyakit kekhawatiranku kambuh. Aku takut akan terjadi sesuatu sama orang yang
aku sayang. Apalagi kini mamaku sedang sendiri di rumah. Ayolah Cha..
berpikirlah positive!
“Kak, pulang yuk! Perasaan Icha nggak enak nih. Takut Mama kenapa-napa.
Ayolah Kak,” ajakku dengan tampang melas. Aku memang sangat khawatir kepada
mama.
“Nanggung lah Cha. Udahlah, Mama nggak apa-apa kok. Buktinya perasaan
Kakak biasa-biasa saja,” jawab kak Alvin dengan santai. Aku mendengus kesal
kepadanya.
“Please Kak. Nanti kalau sudah sampai rumah aku kasih nomor handphone
Sivia deh. Tapi sekarang pulang dulu.” Kak Alvin pun tergiur dengan tawaranku
dan ia langsung semangat bukan main untuk pulang.
“Yaudah ayo. Buruan!”
“Giliran tentang cewek aja dia langsung lari. Ditinggalin nih. Huft!”
Aku pun segera menyusul kak Alvin yang lari terbirit-birit bak dikejar
anjing.
“Huh… Huh..”
Sepertinya ini ajang balapan lariku dengan kak Alvin. Sesampainya di
rumah, aku menghela nafas. Ku atur dengan perlahan. Seperti neraka….
“Icha.. Alvin.. Kenapa kalian lari-larian begitu? Kayak anak kecil aja!”
Mama menyambutku dengan gelengan kepala melihat tingkahku dengan kak Alvin. Kak
Alvin sih, lari-larian segala!
“Mamaaa..” Ku bersyukur Mama berdiri di depanku dengan keadaan yang sehat
bugar. Ku tersenyum. Ternyata benar apa yang dikatakan kak Alvin, maam tidak
kenapa-napa. Syukurlah...
“Kamu kenapa, Sayang? Kamu diapain sama Kakakmu?” Belaian lembut mama di
kepalaku terasa hangat. Terlihat gurat khawatir di wajah mama.
“Ehm..”
Aku berdesah kecil. Lalu ku tersenyum jail sambil melirik ke arah kak
Alvin yang ada di sampingku sambil mengacak pinggang dan kecapekan.
“Icha itu Ma yang ngapa-ngapain aku. Tadi dia nyuruh aku pulang cepet
buat liatin keadaan Mama. Katanya, dia khawatir banget tuh. Perasaannya nggak
enak. Padahal perasaanku cuma biasa-biasa saja. Huuhh..”
“Lebay gitu, Kak. Ntar aku tepatin kok janjinya.” Ku kedipkan sebelah
mataku kepada kak Alvin. Dia pun membalas dengan senyuman manisnya.
Ku tersenyum tipis sambil berjalan gontai menuju kamarku. Entah kenapa
lagi, perasaanku kembali gundah. Namun, aku tetap terus melangkah mendekatai
kamarku yang berada di lantai dua tersebut. Meski sekarang tubuhku berselimut
keringat. Aku terlalu kecapekan pagi ini.
**
Brukk..
Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang dan berbaring sambil menatap
langit-langit kamarku. Ku menghela nafas panjang. Mataku pun tertuju pada
sebuah cahaya yang ada di handphoneku. Ku bergumam dan berjalan kecil beberapa
langkah. Dengan niat mengambil handphoneku yang berada di meja belajarku.
“Chika.. Hmm..”
Icha, happy birthday ya. Maaf
telat. Hehe
Aku juga mau bilang, Rio pindah ke
Batam.
“Hah? Serius nih? Kok Rio nggak bilang sih? Pantes smsku nggak
dibales-bales!” umpatku kesal bukan main. Dengan cepat dan tanggap, aku
langsung membalas pesan Chika tersebut dan terjadi balas-balasan sms antara
kami berdua.
To : Chika
Seriusan Chik? Tau dari mana? Kamu
bohong kan?
From : Chika
Sumpah Cha! Kamu masih ingatkan
sama Dea? Yang pengganggu hubungan kamu waktu lalu? Mereka udah putusan, karena
kepindahan Rio. Aku diberi tau Shilla, temen satu kampus Rio.
To : Chika
Kapan Rio berangkat?
From : Chika
Pesawat pagi, pukul 09.35
“Apa? Jam 09.35? Dua puluh lima menit lagi!”
Saking terkejutnya, aku langsung berlari dengan tergesa-gesa menuju
lantai bawah. Aku memutuskan untuk menyusul Rio di Bandara. Entahlah, kenapa
tiba-tiba kakiku bergerak cepat untuk hal genting seperti ini.
“Eh Cha, kamu mau kemana?” cegat kak Alvin yang tiba-tiba nongol di
depanku.
“Aduh Kak. Aku buru-buru banget ini. Aku pergi dulu ya.”
“Kemana Cha? Naik apa?”
“Mungkin taksi.” Aku berteriak menjawab pertanyaan kak Alvin sambil
memandangi ke arah jalan, mencari taksi yang mungkin lewat.
“Biar aku anter, Cha.”
Di dalam perjalanan
“Kak buruan dong!” ucapku dengan tak sabar.
“Sabar kali Cha. Ini juga udah ngebut.”
Selang beberapa menit kemudian, kami pun sampai di Bandara Adi Sucipto.
Aku tajamkan pandangan mataku ke seisi bandara. Aku sangat tergesa-gesa untuk
mencari sesosok Rio. Where are you, Rio? Daripada celingukan begini, aku
memutuskan untuk berlari menuju administrasi yang ada di dekatku dan menanyakan
berangkat atau belumkah pesawat Rio.
“Emh.. Mbak, pesawat pagi tujuan Batam udah berangkat belum?” Aku
menanyakan hal itu dengan nada yang terpotong-potong.
“Tadi sih lagi bermasalah, sebentar saya cek dulu,” jawab perempuan yang
tadi aku tanyakan tentang seputar pesawat Rio.
Sedetik kemudian, aku merasakan suara Rio memanggil namaku. Mungkin hanya
halusinasiku saja, pikirku. Tapi suara itu semakin jelas terdengar. Tidak! Itu
nyata!
“Icha!”
Aku membalikkan badanku dan kulihat Rio sudah berdiri tegap di hadapanku.
Rio tersenyum manis, bahkan sangat manis sampai membuat aku hampir ambruk di
hadapannya. Tapi itu memang benar. Aku langsung ambruk di tubuh Rio. Aku
memeluk Rio dengan eratnya.
“Rio, kamu benar mau pindah ke Batam?” tanyaku langsung kepada Rio. Tak
ada jawaban yang keluar dari mulut manisnya. Ia hanya mengangguk dan tersenyum.
Aku pun berkata lagi,
“Aku tau Yo, aku bukan siapa-siapa untukmu. Tapi, aku ingin melihatmu
untuk yang terakhir kali. Jangan pernah lupain aku ya.”
“Iya Cha. Aku nggak bakal lupain cinta terindahku.”
Aku kembali memeluk Rio erat dan meneteskan air mata dalam pelukan yang
hangat tersebut. Beberapa detik tlah berlalu, Rio kembali melepaskan pelukan
tersebut. Ia pun menghapus air mata yang terurai lembut di pipiku. Ia kembali
tersenyum untukku dan melangkah pergi dari hadapanku.
“Maafkan aku yang sudah membuat kecewa. Aku harus pergi….”
Nah, tuh udah tuh. Maap ye jelek. Thx!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar